Helen Adams Keller dilahirkan pada tanggal 27 Juni 1880 di Tuscumbia,
sebuah kota kecil di barat laut Alabama, Amerika Serikat. Anak
perempuan dari pasangan Kapten Arthur Henley Keller dan Kate Adam
Keller. Sewaktu dilahirkan Helen memiliki penglihatan dan pendengaran
yang normal.
Kate Keller berpostur tinggi bagai patung pirang
dengan mata biru. Ia 20 tahun lebih muda dari suaminya, Kapten Keller,
orang Selatan yang loyal yang dengan bangga mengabdi sebagai tentara
sekutu selama perang sipil.
Rumah yang mereka tinggali sederhana,
bercat putih, rumah papan yang dibangun pada tahun 1820 oleh buyut
Helen. Saat Helen lahir, keluarganya jauh dari kaya, dengan Kapten
Keller yang mencari nafkah sebagai pemilik perkebunan kapas dan editor
mingguan sebuah Koran lokal “North Alabamian”. Ibu Helen sebaik
pekerjaan yang dilakukannya di perkebunan, ia juga menyimpan uang dari
membuat sendiri mentega, lemak babi, bacon, dan ham.
Helen Jatuh Sakit
Tapi
kehidupan Helen berubah secara dramatis. Pada Pebruari 1882, saat Helen
berusia 19 bulan, ia jatuh sakit. Hingga hari ini, penyakitnya masih
merupakan misteri. Dokter-dokter pada zamannya menyebutnya “demam otak”,
sedangkan dokter-dokter modern berpendapat bahwa itu mungkin demam
jengkering atau radang selaput.
Apapun penyakitnya, Helen, untuk
beberapa hari diduga akan meninggal. Ketika akhirnya demamnya reda,
keluarga Helen bergembira meyakini puteri mereka akan sehat kembali.
Namun,
ibu Helen memperhatikan bagaimana anak perempuannya gagal merespon
ketika bel makan malam berbunyi atau ketika ia melewati tangannya di
depan mata putrinya.
Dengan begitu menjadi jelas bahwa penyakit
Helen telah membuatnya buta dan sekaligus tuli. Beberapa tahun yang
menyusul terbukti sangat berat bagi Helen dan keluarganya. Helen menjadi
anak yang sangat sulit, menghancurkan piring-piring dan lampu-lampu dan
meneror seluruh anggota keluarga dengan teriakannya dan tingkahnya yang
penuh amarah. Para kerabat menganggapnya sebagai monster dan
berpendapat bahwa ia harus ditempatkan di sebuah institusi.
Seiring
waktu, ketika Helen berusia 6 tahun, keluarganya menjadi putus asa.
Setelah melihat Helen membuktikan terlalu banyak bagi mereka, Kate
Keller membaca di dalam buku Charles Dickens “Catatan Amerika”,
pekerjaan yang fantastis yang dilakukan bersama anak tuli dan buta yang
lain, Laura Bridgman, dan melakukan perjalanan ke dokter spesialis di
Baltimore untuk meminta saran. Mereka mendapat konfirmasi bahwa Helen
tidak akan pernah melihat atau mendengar lagi tapi mengatakan pada
mereka agar tidak menyerah, dokter yakin Helen dapat diajari dan ia
menyarankan mereka untuk mengunjungi ahli setempat yang menangani
masalah anak-anak tuli. Ahli ini adalah Alexander Graham Bell, penemu
telepon, Bell sekarng berkonsentrasi atas apa yang ia anggap sebagai
panggilan jiwanya yang sejati, mengajar anak-anak tuli.
Alexander
Graham Bell menyarankan agar Keller menulis surat ke Michael Anagnos,
direktur Institusi Perkins dan suaka bagi yang buta di Massachussets,
dan memintanya untuk mencoba mencarikan seorang guru bagi Helen. Michael
Anagnos mempertimbangkan kasus Helen dan segera merekomendasikan guru
yang dahulu mengajar di institusi itu, wanita itu adalah Anne Sullivan.
Anne Sullivan
Anne
Sullivan kehilangan sebagian besar penglihatannya ketika berusia 5
tahun. Pada Oktober 1880, sebelum Anne akhirnya pergi dan mulai memasuki
pendidikannya di Institursi Perkins. Pada suatu musim panas selama
waktunya di institusi, Anne mendapat 2 kali operasi pada kedua matanya,
yang membuatnya mendapatkan cukup penglihatan untuk dapat membaca
tulisan secara normal selama periode waktu yang singkat.
Anne
lulus dari Perkins pada tahun 1886 dan mulai mencari pekerjaan.
Mendapatkan pekerjaan luar biasa sukar untuk Anne, akibat dari
penglihatannya yang buruk dan ketika ia mendapat tawaran dari Michael
Anagnos untuk bekerja sebagai guru bagi Helen Keller, seorang yang tuli,
buta dan bisu, meskipun ia tidak memiliki pengalaman di bidang ini, ia
menerimanya dengan senang hati.
Helen Bertemu Anne
Pada 3
Maret 1887 Anne tiba di rumah di Tuscumbia dan untuk pertama kalinya
bertemu Helen Keller. Anne segera mulai mengajar Helen mengeja dengan
jari. Mengeja kata “boneka” untuk menandai hadiah yang dia bawa untuk
Helen. Kata berikutnya yang ia ajarkan pada Helen adalah “kue”. Walaupun
Helen dapat mengulangi gerakan-gerakan jari ini, ia tidak dapat
sepenuhnya memahami apa artinya. Dan ketika Anne berjuang untuk mencoba
membantunya untuk memahami, ia juga mencoba berjuang mengontrol kelakuan
buruk Helen yang terus berlanjut.
Anne dan Helen pindah ke
sebuah pondok kecil di atas tanah yang masih menjadi bagian dari rumah
utama untuk memperbaiki tingkah laku Helen, dengan perhatian khusus atas
sikap Helen di meja makan. Helen biasa makan dengan tangannya yang
sembarangan mencomot dari piring semua orang yang ada di meja. Anne
mencoba memperbaiki sikap Helen di meja makan dan membuatnya menyisir
sendiri rambutnya dan mengancingkan sepatunya untuk mengarahkannya lebih
dan lebih lagi mengatasi tingkahnya yang penuh amarah. Anne menghukum
tingkahnya yang penuh amarah itu dengan menolak “berbicara” dengan Helen
dengan tidak mengejakan kata-kata dengan tangannya.
Dalam
minggu-minggu yang akan datang, bagaimanapun perilaku Helen mulai ada
kemajuan dan ikatan di antara ke-2nya juga bertambah besar. Lalu,
setelah sebulan Anne mengajar, apa yang oleh orang-orang pada zamannya
disebut sebagai “keajaiban” terjadi.
Sampai saat itu Helen belum
juga memahami sepenuhnya arti kata-kata. Ketika Anne menuntunnya ke
pompa air pada 5 April 1887, semua itu berubah.
Sewaktu Anne
memompa air ke atas tangan Helen, Anne mengeja kata air ke sebelah
tangan gadis itu yang bebas. Sesuatu tentang hal ini menjelaskan arti
kata-kata itu ke benak Helen, dan Anne segera melihat di wajahnya bahwa
Helen akhirnya mengerti.
Helen lalu menceritakan kejadian itu:
“Kami
berjalan menuruni jalanan ke rumah, ditarik oleh aroma sarang lebah
yang tertutup. Seseorang menggambar air dan guruku menempatkannya di
bawah tanganku sesuatu yang memancar. Sewaktu arus dingin yang memancar,
di atas sebelah tanganku yang lain guruku mengeja kata air, awalnya
lambat, lalu diulangi lagi. Aku masih berdiri, seluruh perhatianku
terpusat pada gerakan-gerakan tangannya. Tiba-tiba aku merasa
kesadaranku yang berkabut akan sesuatu yang telah terlupakan, suatu
ingatan yang mendebarkan kembali, dan bagaimana misteri dari bahasa
terungkap olehku.”
Helen segera meminta pada Anne nama dari pompa
untuk diejakan di atas tangannya dan kemudian nama dari terali.
Sepanjang jalan pulang ke rumah Helen belajar nama dari segala sesuatu
yang disentuhnya dan juga menanyakan nama untuk Anne. Anne mengeja kata
“Guru” ke atas tangan Helen. dalam beberapa jam berikutnya Helen belajar
mengeja 30 kata-kata baru.
Kemajuan Helen sejak saat itu
mencengangkan. Kemampuannya untuk belajar maju pesat melampaui dari apa
yang pernah dilihat orang lain sebelumnya dalam diri seseorang yang
tanpa penglihatan atau pendengaran. Tak terlalu lama sebelum akhirnya
Anne mengajar Helen untuk membaca, pertama-tama dengan huruf timbul,
lalu dengan Braille, dan menulis dengan mesin tik biasa dan mesin tik
Braille.
Michael Anagnos tetap mempromosikan Helen, satu dari
banyak artikel yang ia tulis menyatakan bahwa “ia adalah sebuah
fenomena.” Artikel ini menuntun ke dalam suatu gelombang publisitas
tentang Helen dengan foto ia sedang membaca Shakespeare atau membelai
anjingnya yang muncul dalam surat-surat kabar nasional.
Helen
menjadi terkenal, dan yang lebih baik lagi ketika mengunjungi Alexander
Graham Bell, ia mengunjungi Presiden Cleveland di White House. Pada 1890
ia tinggal di Institusi Perkins dan diajar oleh Anne. Di bulan Maret
tahun itu Helen bertemu Mary Swift Lamson yang dalam tahun-tahun
berikutnya mencoba mengajar Helen berbicara. Ini adalah sesuatu yang
sangat diinginkan Helen dan meskipun ia belajar memahami apa yang orang
lain katakan melalui meraba bibir dan tenggorokan mereka, usahanya untuk
berbicara terbukti di tahap ini tidak berhasil. Hal ini lalu bertalian
dengan fakta bahwa pita suara Helen sebelumnya tidak dilatih dengan
semestinya untuk diajari berbicara.
Raja Embun Beku
Pada 4
November 1891, Helen mengirimi Michael Anagnos sebuah hadiah ulang
tahun berupa cerita pendek yang ia tulis berjudul “The Frost King” (Raja
Embun Beku). Anagnos sangat senang dengan ceritanya hingga ia segera
mempublikasikannya dalam sebuah majalah yang disambut sebagai karya yang
cukup penting dalam sejarah sastra.
Namun, segera didapati bahwa
cerita Helen sama dengan salah satu cerita yang ditulis Margaret Canby
yang berjudul “The Frost Fairies (Peri Embun Beku). Hal ini pada
akhirnya mengakhiri pertemanan Helen dan Anne dengan Michael Anagnos.
Michael merasa ia telah dibuat kelihatan bodoh oleh apa yang ia anggap
sebagai penipuan oleh Helen.
Diadakan sebuah investigasi dan
didapati bahwa Helen sebelumnya telah membaca cerita itu beberapa tahun
sebelumnya dan kelihatan jelas mengingatnya.
Helen selalu
mengklaim bahwa ia tidak mengingat cerita yang aslinya dan selalu
diingat bahwa Helen pada waktu itu masih berusia 11 tahun, bagaimanapun,
kejadian ini menciptakan kerutan yang tidak akan pernah pulih antara
Helen, Anne dan Anagnos. Hal itu juga menciptakan keraguan besar dalam
pikiran Helen, apakah semua pemikiran-pemikirannya benar-benar berasal
dari dirinya.
Pada tahun 1894 Helen dan Anne bertemu John D.
Wright dan Dr. Thomas Humason yang berencana untuk mendirikan sebuah
sekolah untuk mengajar berbicara orang-orang yang tuli di New York.
Helen dan Anne sangat bersemangat atas rencana ini dan kepastian dari
dua pria itu bahwa kemampuan Helen berbicara dapat diperbaiki sehingga
membuat mereka lebih bersemangat. Dengan begitu Helen setuju untuk
menghadiri sekolah Wright Humason bagi tuna rungu.
Sayangnya
kemampuan bericara Helen tidak pernah benar-benar diperbaiki, hanya
berupa suara-suara yang hanya Anne dan lainnya yang sangat dekat
dengannya yang dapat mengerti.
Helen Memasuki Perguruan Tinggi Radcliffe
Helen
pindah ke Cambridge, sekolah bagi gadis-gadis muda pada tahun 1896 dan
di musim gugur tahun 1900 memasuki Perguruan Tinggi Radcliffe, menjadi
orang bisu tuli pertama yang pernah mengikuti institusi pembelajaran
yang lebih tinggi.
Hidup di Radcliffe sangat sulit bagi Helen dan
Anne dan jumlah kerja yang sangat besar turut menyebabkan memburuknya
penglihatan Anne. Selama waktu mereka di perguruan tinggi, Helen menulis
tentang hidupnya. Dia menulis cerita dengan mesin tik Braille dan mesin
tik biasa sekaligus. Pada saat inilah Helen dan Anne bertemu John
Albert Macy yang menolong mengedit buku Helen yang pertama “The Story of
My Life” – ‘Kisah Hidupku’, yang diterbitkan pada tahun 1903 dan
meskipun pada awalnya kurang baik, kemudian sejak itu menjadi sesuatu
yang klasik.
Pada 28 Juni 1904 Helen lulus dari Perguruan Tinggi
Radcliffe, menjadi orang bisu tuli pertama yang mendapat gaji dengan
gelar seni. John Macy menjadi teman baik Helen dan Anne dan pada Mei
1905 John dan Anne menikah. Nama Anne sekarang berubah menjadi Anne
Sullivan Macy. Mereka bertiga tinggal bersama di Wrentham,
Massachussets, dan selama waktu ini Helen menulis “The World I Live In” –
‘Dunia yang Kutinggali.’ Menampakkan waktu pertama kali
pemikiran-pemikirannya tentang dunianya. Juga selama waktu ini John Macy
memperkenalkannya ke dunia baru dan cara revolusioner untuk melihat
dunia. Dan pada 1909 Anne menjadi anggota partai Sosialis di
Massachussets. Pada 1913 “Out of The Dark – Keluar dari Gelap”
dipublikasikan. Ini adalah sebuah seni essai sosialisme dan berdampak
pada tenggelamnya imej Helen terhadap publik.
Helen Mengadakan Tur Dunia
Helen
dan Anne mengisi tahun-tahun ini dengan mengadakan tur, memberikan
ceramah, berbicara tentang pengalaman-pengalamannya dan kepercayaannya
pada banyak orang yang terpikat mendengarnya. Apa yang ia katakan
diterjemahkan kalimat demi kalimat oleh Anne Sullivan dan diikuti oleh
sesi tanya jawab.
Meski Helen dan Anne menghasilkan kehidupan
yang baik ceramah-ceramah mereka, pada 1918 permintaan ceramah untuk
Helen berkurang dan mereka melakukan tur dengan hati yang lebih
bercahaya sandiwara Vaudeville, yang mendemonstrasikan pemahaman Helen
yang pertama atas kata ‘air’. Sandiwara ini sukses besar sejak
penampilan perdana, salah satu ulasan diantaranya berbunyi sebagai
berikut:
“Helen Keller menaklukkan, dan Senin sore, penonton di
istana, satu dari kritikus terkritis dan tersinis di dunia, adalah
dirinya.”
Pada waktu ini mereka juga ditawarkan kesempatan
membuat sebuah film di Hollywood dan mereka menangkap kesempatan ini,
”Deliverance – Pembebasan”, cerita hidup Helen dibuat. Helen,
bagaimanapun, tidak senang dengan keglamoran pada filmnya dan sayangnya
terbukti tidak menghasilkan sukses finasial seperti yang mereka
harapkan.
Penampilan vaudeville berlanjut dengan Helen menjawab
pertanyaan-pertanyaan dalam skala luas tentang hidupnya dan pandangan
politiknya dan Anne menerjemahkan jawaban-jawaban Helen untuk para
hadirin yang terpikat.
Pendapatan mereka meningkat hingga $2000 dalam
seminggu, patut diperhitungkan pada waktu itu. Pada tahun 1918 Helen,
Anne dan John pindah ke Forest Hills di New York. Helen memakai rumah
baru mereka sebagai markas atas tur penggalangan dananya bagi institusi
tuna netra Amerika. Ia tidak hanya mengumpulkan uang, tapi juga
berkampanye tanpa mengenal lelah untuk meringankan kondisi kehidupan dan
pekerjaan orang-orang tuna netra yang pada waktu itu biasanya dididik
dengan buruk dan tinggal di rumah sakit. Usaha kerasnya adalah faktor
utama yang merubah kondisi-kondisi ini.
Ibu Helen, Kate meninggal
pada 1921 karena penyakit yang tak diketahui dan hal ini menjadikan
Anne sebagai satu-satunya orang yang terus menerus ada pada kehidupan
Helen. Namun pada tahun yang sama Anne jatuh sakit lagi dan ini diikuti
pada tahun 1922 oleh bronchitis akut yang membuat Anne tak dapat bicara
lebih dari berbisik dan dengan begitu membuatnya tidak mampu lagi
bekerja dengan Helen di panggung. Pada waktu ini, Polly Thomson, mulai b
ekerja pada Helen dan Anne pada 1914 sebagai sekretaris, mengambil
peran menjelaskan apa yang dimaksud Helen kepada publik teater.
Mereka
juga menghabiskan banyak waktu mengadakan tur dunia menggalang dana
bagi orang-orang tuna netra. Pada 1931 mereka bertemu Raja George dan
Ratu Mary di Istana Buckingham yang mengungkapkan bahwa mereka sangat
terkesan dengan kemampuan Helen untuk memahami apa yang orang katakan
dengan meraba.
Sedangkan kesehatan Anne semakin memburuk dan
dengan berita meninggalnya John Macy pada 1932, meski pernikahan mereka
tidak bertahan beberapa tahun sebelumnya, nyawanya akhirnya tak
tertolong. Anne meninggal pada 20 Oktober 1936.
Setelah Anne
meninggal, Helen dan Polly pindah ke Arcan Ridge, di Westport,
Connecticut, yang menjadi rumah Helen hingga akhir hidupnya.
Setelah
Perang Dunia II, Helen dan Polly menghabiskan bertahun-tahun melakukan
perjalanan keliling dunia menggalang dana untuk yayasan di Amerika untuk
tuna netra di luar negri. Mereka mengunjungi Jepang, Australia, Amerika
Utara, Eropa dan Afrika.
Sambil lalu selama waktu ini Helen dan
Polly belajar bahwa api yang merusakkan rumah mereka di Arcan Ridge.
Meskipun rumah itu akan dibangun kembali, sebaik apapun kenang-kenangan
yang Helen dan Polly rasakan kehilangannya juga merusakkan buku Helen
yang terakhir yang telah dikerjakannya tentang Anne Sullivan yang
berjudul “Guru.”
Juga selama waktu ini kesehatan Polly Thomson
mulai memburuk, sementara itu di Jepang ia mengalami strok ringan.
Dokter menyatakan Polly untuk berhenti mengikuti tur yang terus menerus
yang ia jalani bersama Helen, dan meskipun awalnya hal ini sedikit
memperlambat mereka, turnya dilanjutkan sekali lagi setelah Polly pulih.
Pada
tahun 1953 sebuah film dokumenter “Tak Terkalahkan” dibuat yang
mengisahkan kehidupan Helen, film ini memenangkan Academy Award sebagai
film dokumenter terbaik. Hal ini bersamaan waktunya dengan Helen mulai
mengerjakan lagi bukunya “Guru” 7 tahun setelah buku aslinya musnah,
buku ini akhirnya diterbitkan pada tahun 1955.
Polly Thomson
terserang stroke lagi pada tahun 1957, ia tidak pernah benar-benar pulih
dan akhirnya meninggal pada tanggal 21 Maret 1960. Abunya disimpan di
Katedral Nasional di Washington DC bersebelahan dengan abu Anne
Sullivan. Perawat yang dibawa untuk merawat Polly dalam tahun-tahun
terakhir hidupnya, Winnie Corbally, yang kemudian merawat Helen sampai
tahun-tahun terakhir hidupnya.
Pekerja Ajaib
Pada tahun
1957 “Pekerja Ajaib” pertama kali dipertontonkan. Sebuah drama yang
memotret kesuksesan pertama Anne Sullivan berkomunikasi dengan Helen
kecil, pertama kali ditampilkan sebagai tayangan di televisi di Amerika
Serikat.
Pada tahun 1959 ditulis ulang untuk dipentaskan di
Broadway dan mendapat sambutan hangat. Kesuksesannya berlangsung selama
hampir 2 tahun. Pada tahun 1962 drama ini diangkat ke dalam sebuah film
dan aktris-aktris yang memerankan Anne dan Helen, keduanya menerima
Oscar atas peran mereka.
Helen pensiun dari kehidupan publik
Pada
Oktober 1961 Helen mengalami serangan stroke pertama dari serangkaian
stroke yang ia alami dan membuatnya menarik diri dari publik. Ia
menghabiskan tahun-tahun yang tersisa dirawat di rumahnya di Arcan
Ridge.
Tahun-tahun terakhir hidupnya bagaimanapun bukannya tanpa
kesenangan dan pada tahun 1964 Helen dianugrahi medali kemerdekaan,
penghargaan tertinggi yang diberikan negara kepada penduduk sipil,
diserahkan oleh Presiden Lyndon Johnson. Setahun kemudian ia terpilih
menjadi salah satu wanita yang diabadikan di Hall of Fame di sebuah
pameran dunia di New York.
Pada 1 Juni 1968 di Arcan Ridge, Helen
Keller meninggal dengan damai dalam tidurnya. Jenazahnya dikremasi di
Bridgeport, Connecticut dan sebuah jasa pemakaman mengatur agar guci
abunya ditempatkan di Katedral Nasional di Washington yang lalu
diletakkan bersebelahan dengan abu Anne Sullivan dan Polly Thomson.
Warisan Helen
Hari
ini tempat peristirahatan terakhir Helen adalah makam yang populer di
kalangan turis dan plakat perunggu didirikan untuk memperingati hidupnya
berikut dengan ukiran yang ditulis dalam huruf Braille:
“Helen Keller dan sahabat tersayangnya Anne Sullivan Macy terkubur di Columbarium di belakang kapel ini”
Begitu
banyak orang yang mengunjungi kapel dan menyentuh titik-titik huruf
Braille itu, sehingga plakat itu sudah diganti 2 kali.
Jika Helen
Keller terlahir hari ini, hidupnya tak diragukan akan sepenuhnya
berbeda. Mimpinya selama masih hidup untuk dapat berbicara, suatu hal
yang ia tak pernah dapat menjadi ahlinya. Hari ini metode pengajaran
telah ada yang dapat menolong Helen untuk mewujudkan mimpi ini. Apa yang
akan dilakukan Helen dengan teknologi yang tersedia hari ini bagi
orang-orang tuna netra dan tuna rungu? Teknologi yang memampukan
orang-orang tuna netra dan tuna rungu, seperti Helen untuk berkomunikasi
secara langsung dan mandiri, dengan setiap orang di dunia.
Helen
Keller mungkin tidak secara langsung bertanggung jawab atas pembangunan
teknologi ini dan metode pengajarannya. Tapi dengan pertolongan Anne
Sullivan, melalui tulisan-tulisannya, ceramah-ceramahnya dan cara ia
menjalani hidupnya, ia telah menunjukkan kepada jutaan orang bahwa cacat
bukanlah akhir dari dunia.
Dalam kata-kata Helen sendiri:
“Publik
harus belajar bahwa orang buta bukanlah seorang jenius atau aneh atau
idiot. Dia memiliki pikiran yang dapat diedukasi, tangan yang dapat
dilatih, ambisi-ambisi yang adalah benar baginya untuk bekerja keras
mewujudkannya dan adalah tugas publik untuk menolongnya menjadikan
dirinya yang terbaik bagi dirinya jadi ia dapat memenangkan cahaya
melalui bekerja”
Kisah Helen Keller
Mereka merampas apa yang seharusnya adalah mataku
(Tapi aku mengingat Milton’s paradise)
Mereka merampas apa yang seharusnya adalah telingaku
(Beethoven datang dan menghapus air mataku)
Mereka merampas apa yang seharusnya adalah lidahku
(Tapi aku dapat berbicara dengan Tuhan ketika aku masih muda)
Tuhan tidak akan membiarkan mereka merampas jiwaku.
Memilikinya, aku masih memiliki seluruhnya.
Helen Keller
Pada
mulanya?, pompa air hitam di sebuah kota kecil di selatan Tuscumbia,
Alabama, salah satu dari tempat-tempat di mana keajaiban dunia berada.
Ini dimulai pada suatu hari yang cerah, suatu hari di musim semi di
tahun 1887. Segumpal awan putih melayang di atas kepala dengan latar
belakang langit biru, ketika burung-burung menggelepar melewati pohon
oak dan bunga-bunga maple meloncat keluar dari tanah yang subur dalam
barisan warna semuanya tak terdengar dan tak terlihat oleh seorang gadis
cantik berumur 7 tahun.
Berdirilah Helen Keller dengan kebutaan
total dan ketuliannya, di sampingnya adalah seorang wanita muda, Anne
Sullivan. Nona Sullivan dengan mantap memompa air dingin ke salah satu
tangan gadis itu sementara ke tangan yang satunya ia berulang kali
menuliskan tiga huruf dalam kode alfabet – pertama-tama perlahan lalu
semakin cepat. Pemandangan itu berulang, lagi dan lagi ketika Helen
kecil dengan sangat tekun berjuang untuk mematahkan dunianya yang bisu.
Tiba-tiba
sinyal itu melewati kesadaran Helen dengan sebuah makna. Ia tahu
“a-i-r” berarti sesuatu yang dingin yang mengalir di tangannya.
Kegelapan menjadi lumer dari pikirannya bagaikan es yang demikian banyak
luruh di suatu hari yang cerah di bulan Maret itu. Ketika senja tiba,
Helen telah mempelajari 30 kata.
Helen Adams Keller terlahir
sehat pada 27 Juni 1880, putri dari Kapten Arthur H dan Kate Adams
Keller di Tuscumbia. Ketika usianya masih 19 bulan, ia diserang penyakit
yang parah yang menyebabkan kebutaan dan tuli.
Pada usia 6
tahun, setengah liar, gadis buta dan tuli itu dibawa oleh orang tuanya
untuk menemui Dr. Alexander Graham Bell. Karena kunjungannya, Helen
disatukan dengan gurunya, Anne Mansfield Sullivan pada 3 Maret 1887.
setelah terobosan Helen yang ajaib dengan pompa air yang sederhana, ia
terbukti sangat berbakat hingga ia segera dapat mempelajari alfabet
dengan mengejanya di jari-jarinya dan dalam waktu singkat sesudahnya
dapat menulis. Pada akhir Agustus, dalam waktu 6 bulan saja, ia telah
mengetahui 625 kata.
Pada usia 10 tahun, Helen telah ahli
menggunakan huruf Braille sebaik dengan huruf manual dan bahkan belajar
menggunakan mesin tik. Seiring waktu ketika berusia 16 tahun, Helen
dapat berbicara cukup baik untuk pergi ke sekolah persiapan dan ke
perguruan tinggi. Pada tahun 1904, ia lulus dengan predikat “cum laude”
dari Perguruan Tinggi Radcliffe. Gurunya tinggal bersamanya selama
tahun-tahun itu, menerjemahkan ceramah-ceramahnya dan kelas diskusi
baginya. Helen Keller, dari seorang gadis kecil, menjadi salah satu dari
wanita yang luar biasa dalam sejarah. Ia mendedikasikan hidupnya untuk
memajukan kondisi orang-orang buta dan buta-tuli di dunia, memberi
ceramah di lebih dari 25 negara di 5 benua utama. Di manapun dia muncul,
dia membawa keberanian baru bagi jutaan penyandang tuna netra.
Gurunya,
Anne Sullivan diingat sebagai “pekerja ajaib” atas dedikasinya selama
hidupnya, kesabaran dan cintanya kepada gadis selatan yang setengah liar
yang terperangkap dalam dunia penuh kegelapan.
Jumat, 16 Mei 2014
Baca Yah Sahabatku :)
Pepatah Arab mengatakan :
Raih mimpimu, jalani yang tak Anda ingini, Anda tak akan meraih yang Anda inginkan hingga Anda siap menjalani hal-hal yang tidak Anda inginkan.
Terdengar aneh mungkin. Siapa pun rasanya tidak ingin menjalani sesuatu yang tidak di sukai. Seseorang yang tak suka makanan pedas, akan marah atau menolak jika di berikan makanan pedas. Orang yang terbiasa dengan kipas atau AC akan merasa ketidaknyamanan manakala harus berada di ruang yang panas. Orang yang terbiasa dengan kehidupan yang mewah akan merasa terbebani jika suatu saat harus menghadapi kondisi yang sulit.
Namun pada kenyataannya, kehidupan bukanlah suatu pertunjukan yang dimana kita berperan sebagai sutradara dengan berbagai macam adegan yang kita inginkan. Kita hanya berperan sebagai hamba dari Allah Rabb semesta alam. DIAlah yang mengatur berbagai macam takdir yang telah di sediakan untuk kitajalani. DIAlah sutradara dan produser dari sebuah pertunjukan dunia. Sebagai hamba, seringnya kita hanya menginginkan suatu adegan yang nyaman dan mudah.Tapi Allah sang sutradara tak inginkan kita lemah hanya dengan suatu kemudahan dan kenyamanan.
Allah memberi kita airmata. Tentu sejatinya sebagai manusia kita menolak .Meskipun takdir harus tetap di jalani. Yakinlah, bahwa di balik skenario yang kadang terkesan “kejam” ada rahasia indah di balik semua itu. Karena Allah tak pernah menciptakan suatu kesia-siaan dunia ini melainkan ada hikmah yang terkandung di dalamnya.
Allah memberi kita kesenangan dan kebahagiaan. Banyak orang yang menikmatinya bahkan lalai karenanya. Karena itu, Allah tak ingin hambaNya menjadi terlena dan lupa sehingga di berikannya suatu kesulitan agar hambaNya menjadi manusia yang bertaqwa dan tidak ingkar pada nikmat yang Allah berikan.
Seorang murid, ia tak akan pernah merasakan tingkatan-tingkatan kelas sebelum ia melaksanakan peraturan dari sekolah yaitu mengikuti ujian. Ujian yang merupakan rangkuman dari semua mata pelajaran yang telah di sampaikan oleh sang guru. Ujian yang bukan untuk “menyiksa” seorang murid untuk memberi tekanan untuk belajar lebih giat tapi melihat seberapa besar kemampuan murid tersebut menerima hasil pelajaran yang di sampaikan gurunya selama beberapa bulan sebelumnya. Kemampuan murid satu dengan lainnya akan berbeda, sehingga nilai yang di hasilkannya pun berbeda. Tapi, ketika murid tersebut lulus dalam ujian maka otomatis ia akan menaiki jenjang kelas yang lebih tinggi.
Seorang pendaki gunung, tak akan pernah menikmati keagungan Allah di puncak gunung sebelum ia rela untuk melelahkan diri mendaki medan terjal yang membutuhkan waktu tidak sebentar. Tapi memang segala perjuangan akan menjadi kenikmatan dan sesuatu yang tak terlupakan ketika sebuah puncak mampu di daki. Dan dalam sebuah perjalanan tersebut tersimpan banyak hikmah yang terkandung jika kita mau memikirkannya. Bagaimana kita mengasah empati kita untuk menghormati kawan yang tidak memiliki fisik kuat, sehingga mau tak mau kita harus ikhlas dan rela untuk tidak meninggalkannya sendiri. Mampu melatih diri dalam keterbatasan kehidupan di alam bebas. Mampu berbagi dengan sesama dalam hal apapun dan lain sebagainya.
Seperti itulah kehidupan. Tak ada pengakuan iman tanpa ujian. Tak ada kesuksesan tanpa di sertai onak dan duri yang menjadikan kita strong dan fight terhadap kehidupan.
Kesulitan, ketidaknyamanan, kesedihan, jatuh. Semua adalah bentuk cintaAllah kepada para hambaNya. Sesuatu yang sangat tidak kita inginkan tapi sebenarnya kita membutuhkannya. Bilamana kita mampu meraih mimpi kita, semua jatuh dan bangun yang telah kita alami akan menjadi suatu warna tersendiri yang tak akan pernah terlupa dan menjadikan diri kita menjadi pribadi kuat serta tetap rendah hati.
Ketika saat ini kita berada di titik terendah, berbahagialah karena sejenak kita akan berjumpa dengan kesenangan atau mungkin mimpi kita semakin nyata terlihat. Sebaliknya jika kita sedang berada pada titik kenyamanan, janganpernah merasa angkuh dan bersyukurlah serta tetap tawadhu’ sehingga jika sewaktu-waktu roda kehidupan berputar kita telah siap untuk menyambutnya dengan senyum.
Semua mimpi manusia pasti akan berakhir pada kebahagiaan. Kebahagiaan yang hakiki. Ketika kita menyandarkan mimpi kita pada Allah dan siap pada segala ketentuanNya yang merupakan anak tangga menuju kesuksesan baik itu pahit atau manis, Insya Allah kita akan siap dan tawakal pada ketetapanNya.
Wallahua’lam
:)
Sumber : Dakwatuna
Raih mimpimu, jalani yang tak Anda ingini, Anda tak akan meraih yang Anda inginkan hingga Anda siap menjalani hal-hal yang tidak Anda inginkan.
Terdengar aneh mungkin. Siapa pun rasanya tidak ingin menjalani sesuatu yang tidak di sukai. Seseorang yang tak suka makanan pedas, akan marah atau menolak jika di berikan makanan pedas. Orang yang terbiasa dengan kipas atau AC akan merasa ketidaknyamanan manakala harus berada di ruang yang panas. Orang yang terbiasa dengan kehidupan yang mewah akan merasa terbebani jika suatu saat harus menghadapi kondisi yang sulit.
Namun pada kenyataannya, kehidupan bukanlah suatu pertunjukan yang dimana kita berperan sebagai sutradara dengan berbagai macam adegan yang kita inginkan. Kita hanya berperan sebagai hamba dari Allah Rabb semesta alam. DIAlah yang mengatur berbagai macam takdir yang telah di sediakan untuk kitajalani. DIAlah sutradara dan produser dari sebuah pertunjukan dunia. Sebagai hamba, seringnya kita hanya menginginkan suatu adegan yang nyaman dan mudah.Tapi Allah sang sutradara tak inginkan kita lemah hanya dengan suatu kemudahan dan kenyamanan.
Allah memberi kita airmata. Tentu sejatinya sebagai manusia kita menolak .Meskipun takdir harus tetap di jalani. Yakinlah, bahwa di balik skenario yang kadang terkesan “kejam” ada rahasia indah di balik semua itu. Karena Allah tak pernah menciptakan suatu kesia-siaan dunia ini melainkan ada hikmah yang terkandung di dalamnya.
Allah memberi kita kesenangan dan kebahagiaan. Banyak orang yang menikmatinya bahkan lalai karenanya. Karena itu, Allah tak ingin hambaNya menjadi terlena dan lupa sehingga di berikannya suatu kesulitan agar hambaNya menjadi manusia yang bertaqwa dan tidak ingkar pada nikmat yang Allah berikan.
Seorang murid, ia tak akan pernah merasakan tingkatan-tingkatan kelas sebelum ia melaksanakan peraturan dari sekolah yaitu mengikuti ujian. Ujian yang merupakan rangkuman dari semua mata pelajaran yang telah di sampaikan oleh sang guru. Ujian yang bukan untuk “menyiksa” seorang murid untuk memberi tekanan untuk belajar lebih giat tapi melihat seberapa besar kemampuan murid tersebut menerima hasil pelajaran yang di sampaikan gurunya selama beberapa bulan sebelumnya. Kemampuan murid satu dengan lainnya akan berbeda, sehingga nilai yang di hasilkannya pun berbeda. Tapi, ketika murid tersebut lulus dalam ujian maka otomatis ia akan menaiki jenjang kelas yang lebih tinggi.
Seorang pendaki gunung, tak akan pernah menikmati keagungan Allah di puncak gunung sebelum ia rela untuk melelahkan diri mendaki medan terjal yang membutuhkan waktu tidak sebentar. Tapi memang segala perjuangan akan menjadi kenikmatan dan sesuatu yang tak terlupakan ketika sebuah puncak mampu di daki. Dan dalam sebuah perjalanan tersebut tersimpan banyak hikmah yang terkandung jika kita mau memikirkannya. Bagaimana kita mengasah empati kita untuk menghormati kawan yang tidak memiliki fisik kuat, sehingga mau tak mau kita harus ikhlas dan rela untuk tidak meninggalkannya sendiri. Mampu melatih diri dalam keterbatasan kehidupan di alam bebas. Mampu berbagi dengan sesama dalam hal apapun dan lain sebagainya.
Seperti itulah kehidupan. Tak ada pengakuan iman tanpa ujian. Tak ada kesuksesan tanpa di sertai onak dan duri yang menjadikan kita strong dan fight terhadap kehidupan.
Kesulitan, ketidaknyamanan, kesedihan, jatuh. Semua adalah bentuk cintaAllah kepada para hambaNya. Sesuatu yang sangat tidak kita inginkan tapi sebenarnya kita membutuhkannya. Bilamana kita mampu meraih mimpi kita, semua jatuh dan bangun yang telah kita alami akan menjadi suatu warna tersendiri yang tak akan pernah terlupa dan menjadikan diri kita menjadi pribadi kuat serta tetap rendah hati.
Ketika saat ini kita berada di titik terendah, berbahagialah karena sejenak kita akan berjumpa dengan kesenangan atau mungkin mimpi kita semakin nyata terlihat. Sebaliknya jika kita sedang berada pada titik kenyamanan, janganpernah merasa angkuh dan bersyukurlah serta tetap tawadhu’ sehingga jika sewaktu-waktu roda kehidupan berputar kita telah siap untuk menyambutnya dengan senyum.
Semua mimpi manusia pasti akan berakhir pada kebahagiaan. Kebahagiaan yang hakiki. Ketika kita menyandarkan mimpi kita pada Allah dan siap pada segala ketentuanNya yang merupakan anak tangga menuju kesuksesan baik itu pahit atau manis, Insya Allah kita akan siap dan tawakal pada ketetapanNya.
Wallahua’lam
:)
Sumber : Dakwatuna
Langganan:
Postingan (Atom)